Saya, Frida, berdomisili di Cirebon sejak menikah. Usia saya kini sudah tak muda lagi, tapi jangan kaget bila bertemu saya, pasti tidak akan mengira usia saya tahun ini (2019, saat buku ini ditulis) sudah menginjak 60 tahun! Banyak yang bertanya apa rahasia awet muda saya. Saya akan jawab, “JAMU JARAK!” Nah, pasti bingung ya jamu apa itu, pasti jamu ajaib nih. Jamu ajaib itu saya dapatkan dari Bimbingan Hidup Sehat bersama Opa Anton. Memang ajaib, karena bisa menyembuhkan berbagai penyakit! JAga MUlut, JAngan RAKus! Itu kuncinya!
Pernah tidak, merasakan yang namanya “tidak enak badan”? Terkadang begitu sepele penyakitnya, dan seringkali kita biarkan, bukan? Jangan dirasa-rasa. Begitu saya selalu katakan pada diri saya. Ya, sebelum saya menjalani Bimbingan Hidup Sehat ini, sebenarnya banyak penyakit kerap berdatangan. Hidung berair setiap pagi, BAB yang tidak teratur (rata-rata 1-2 minggu sekali, itupun keluarnya harus dibantu obat), periode menstruasi yang tidak lancar, kram ketika menstruasi itu datang, tensi rendah (90/ 55) hingga sering vertigo, susah tidur. Itu saya rasakan setiap hari. Tapi memang selalu saya coba abaikan. Jika tak tahan, ya minum obat. Neozep, Decolgen, Dulcolac, obat-obat semacam itu jadi makanan sehari-hari saya. Jika 1 butir tidak mempan, minum 2. Tidak tahu akan berefek apa pada tubuh saya dalam jangka panjang, yang penting saat itu rasanya membaik. Walaupun keesokan harinya berulang lagi, dan saya harus minum obat-obatan itu lagi.
Namun setahan-tahannya saya terhadap penyakit, kali itu saya sungguh tak tahan. Tahun 2000, sakit yang hebat melanda ketika siklus haid saya datang. Perut terasa diperas kuat, membuat sekujur tubuh saya acap kram kaku tak bisa digerakkan menahan sakit. Darah yang dikeluarkan saat haid amat banyak, bak pendarahan yang tak kunjung berhenti! Bila suami tak di rumah, anak-anak di sekolah, dan sakit itu datang, yang bisa saya lakukan hanya beringsut menuju lemari penyimpanan obat dan menenggak obat penahan sakit. Berdasar pemeriksaan dokter, saya mengidap kista endometriosis. Endometriosis adalah kondisi peradangan akibat menebalnya jaringan dinding rahim (endometrium). Jaringan endometrium tersebut tumbuh dalam ovarium, berupa bulatan berisi cairan. Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk berobat ke Singapura. Saya pun menempuh jalur operasi pengangkatan kista tersebut, dan saya pulang dinyatakan sembuh.
Kisah ini dipercepat kira-kira 7 tahun ke depan, tahun 2007. Saya tak mengalami nyeri hebat lagi bila haid, namun “penyakit ringan” yang saya sebutkan tadi masih setia mengikuti. Kali ini bukan saya yang mengalami deritanya kedatangan penyakit. Robert, suami saya, tiba-tiba merasakan sakit di dadanya ketika kami jalan pagi bersama. Kami tahu sakit jantung bukan penyakit main-main, maka kami segera mencari tahu dokter spesialis jantung terbaik di kota kecil kami. Setahun berlalu, ditemani obat-obatan tentunya. Hasil pengecekan dokter ternyata cukup bagus, dan dokter memutuskan pengurangan konsumsi obatnya.
Sore itu, jadi sore yang tak terlupakan bagi kami. Robert baru keluar dari kamar mandi, masih berbalutkan handuk. Tiba-tiba saat hendak menekan saklar lampu, ia terhuyung dan berpegangan ke pintu, memanggil pelan nama saya. Katanya separuh tubuhnya mati rasa. Panik, namun saya berusaha berpikir jernih. Saya bawa Robert ke dokter umum. Diagnosanya, Robert mengalami serangan stroke! Mencelos ke lantai rasanya jantung saya saat itu. Saat itu dokter bilang, sekarang bapak-ibu berpacu dengan waktu, karena semakin lama tak mendapat tindakan, semakin banyak sel otak yang mati karena tidak mendapat suplai oksigen yang cukup. Saat itu saya putuskan membawa Robert ke rumah sakit besar di Bandung.
Syukur, ternyata kemarin itu hanya stroke ringan. Proses recovery Robert berlangsung cukup cepat, pastinya terbantu oleh semangat suami saya yang amat kuat untuk sembuh. Anak saya yang sulung dan nomor dua sedang kuliah, sementara kedua anak kembar saya masih SMA. Kami tak mau kejadian ini mengganggu studi mereka, sehingga kami jalani proses berobat berdua saja.
Bolak-balik ke dokter syaraf, dokter gizi, dan dokter spesialis jantung di Bandung. Ada 5 macam obat yang harus rutin diminum suami. Pengencer darah, penurun kolesterol, dan entah apa lagi, saya pun tak mengerti. Dokter hanya katakan, seumur hidup tak boleh berhenti minum obat! Hanya untuk obatnya saja, kami harus mengeluarkan biaya minimal 2-3 juta tiap bulannya. Tapi, siapa berani tawar menawar dengan umur sebagai taruhannya?
Dua tahun terlewati. Robert sudah hampir 100% pulih, tak terlihat stroke pernah menyerangnya. Saat itu kami sedang melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit. Ada iklan promosi pemeriksaan kalsium jantung (CA score). Iseng saja, Robert coba melakukan pengecekan. Katanya bisa terlihat penyumbatan pembuluh darah, sehingga bisa kelihatan besarnya resiko terkena serangan jantung. Sungguh tak dinyana, hasil pemeriksaan Robert: dalam pembuluh darah jantungnya nyaris 100% tersumbat! Berarti dalam beberapa titik laju darahnya terancam mampet (jantung koroner), dan beresiko sangat tinggi terkena serangan jantung. Tak percaya, kami periksa kembali di 3 rumah sakit berbeda. Hasilnya sama saja. Menurut dokter, harus secepatnya dilakukan operasi bypass.
Saya tak bisa ijinkan Robert menempuh operasi bypass. Ngeri. Resikonya terlalu besar. Ternyata hal itu pun dirasakan oleh Robert. Kami sepakat untuk mencari alternatif lain. Saat itulah kami mendengar soal seorang dokter ternama di BSD, yang kabarnya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk penyakit jantung koroner yang diderita Robert. Prinsipnya masuk di akal, bahwa tubuh manusia itu terdiri dari satu sistem, dan sangat tergantung pada pola makan. Pola makan dasar yang diterapkan sama untuk semua pasien, yaitu dengan menu Raw Food. Seperti namanya, sayur yang dimakan dalam kondisi mentah/ alami. Menu sehari-harinya, 200 gram selada, 2 butir tomat, 2 buah timun. Proteinnya apa saja selain binatang berkaki empat. Jadi bangsa unggas, seafood, telur, tempe, kacang-kacangan itu boleh dimakan asalkan dimasak dengan cara kukus, pepes, rebus, atau panggang beralaskan daun. Untuk ikan atau ayam besarnya maksimal hanya setelapak tangan. Buahnya hanya boleh setengah buah pir hijau atau apel hijau, atau setengah buah alpukat dimakan polos. Menu tersebut harus dimakan 3x sehari, dan tidak boleh kurang takarannya. Seluruh obat-obatan yang diresepkan oleh dokter jantung dan dokter lainnya, harus dihentikan. Diganti dengan suplemen: 15 butir kapsul Omega 3, 3 butir vitamin C 1000mg, 3 butir CoQ10, setiap harinya. 14 hari pertama pengobatan tersebut, setiap harinya Robert harus disuntik vitamin C dan kolagen. Pola makan saya pun mengikuti pola makan suami, sebagai upaya dukungan moril untuknya. Terlihat mudah ya, namun saat dijalani cukup berat. Proses menyiapkan makanan yang harus benar-benar bersih (karena akan dimakan dalam keadaan mentah), dan yang pasti berat memang mengubah kebiasaan makan kita, yang tadinya selalu makan nasi sekarang harus makan selada segunung.
Pengobatan ini ternyata menguras dana yang tidak sedikit pula setiap bulannya. Memang, tidak membeli obat-obatan lagi, tetapi ternyata untuk suplemen yang dikonsumsi itu dapat menghabiskan sekitar 5 juta rupiah per bulan. Belum lagi ongkos transportasi dan akomodasi kami (Cirebon – BSD) untuk konsultasi dokter. Bobot tubuh Robert turun drastis dengan pola makan ini. 95 kg ke 62 kg hanya dalam 4 bulan saja. Kami mengikuti pola makan tersebut selama dua tahun lebih. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin menunjukkan bahwa semakin lama nilainya berada di bawah nilai rujukan. Pemeriksaan jantung pun menunjukkan tetap penyumbatan masih ada dan tetap disarankan sesegera mungkin operasi bypass.
Lebih-lebih lagi, hasil pemeriksaan darah saya pun mencengangkan. Nilai CA 12-5 tinggi (58, sementara batas normalnya hanya 35), yang berarti menunjukan bahwa dalam tubuh saya terdapat kanker ovarium. Padahal kami mengikuti pola makan “sehat” dengan tertib. Saya tanyakan pada dokter yang bersangkutan, beliau pun terkejut. Karena teorinya, orang yang mengikuti pola hidup sehatnya tidak bakal kena kanker.
Belum sempat kami mengambil tindakan, kami bertemu dengan kawan kami, Pak Alex.
“Ada nih, Pak Anton, orang Kupang. Coba datang aja, nggak diapa-apain! Cuma salaman aja!” begitu katanya.
Singkat cerita, 26 November 2011, kami pun mencoba datang ke Bimbingan Hidup Sehat (BHS) Bandung yang bertempat di Jl. Cilaki, yang pada akhirnya kami ketahui adalah rumah seorang dokter kandungan, yaitu dr. Maximus Mudjur, Sp.OG
Sembari bingung, kami bersalaman dengan sosok pria berkumis yang duduk di dekat gerbang rumah. Walau kecil, postur tubuhnya tegap. Penampilannya sederhana. Di belakangnya sudah siaga tim penulis yang menuliskan apa yang diucapkan saat bersalaman. Racun Tubuhku. Begitu tertulis dalam kertas itu.
Racun tubuh Robert saat itu: sapi, telur puyuh, kacang tanah, kentang.
Racun tubuh saya sendiri: telur, kepiting, udang, cokelat.
Astaga! Semua makanan favorit kami! Bahkan selama mengikuti pola makan raw food yang lalu, kami sering sekali makan kepiting dan udang!
Seselesainya BHS, kami masih ragu, antara percaya dan tidak. Yang membuat dilema kami semakin dalam, semua obat maupun suplemen harus ditinggalkan. Bagaimana tidak, suami saya bisa terlihat lebih segar itu kan berkat suplemennya yang bejibun. Kalau itu semua tidak diminum, dengan resiko tinggi serangan jantung, bagaimana nasibnya?
Akhirnya kami putuskan, kami akan coba ikuti, 1 bulan saja. Lihat dulu saja bagaimana kondisi tubuh kami setelah satu bulan. Daripada operasi jantung dan operasi pengangkatan rahim kan?
Dasar usilnya suami saya, sepulang dari BHS itu, mampirlah kami di toko roti B*******k, yang waktu itu belum ada di Cirebon. Diboronglah segala jenis roti, mentang-mentang saya racunnya telur. Semua roti kan pakai telur! Saya cuma gigit jari lihat Robert asyik menyantap roti cokelat dan lain-lainnya itu.
Sebulan kemudian, kami melakukan pemeriksaan darah di laboratorium. Bila tidak ada kemajuan, balik ke dokter saja. Pagi hari sampel darah kami diambil dan dibawa ke laboratorium. Sekitar pk 10.00 pagi, ada panggilan masuk ke handphone saya. Ternyata dari laboratorium tempat saya memeriksakan darah tadi pagi.
“Selamat pagi, Ibu Frida. Bu, apa betul Ibu bulan lalu juga melakukan pengecekan CA 12-5 dan hasilnya kurang baik? Baru-baru ini, apakah Ibu habis melakukan tindakan atau pengobatan?”
Jantung mulai berdetak lebih cepat. Waduh, ada apa sampai ditelepon dan ditanya-tanya begini? Saya mengiyakan pertanyaan tersebut. Waswas menunggu jawaban dari seberang telepon.
“Hasil tes Ibu pagi ini, hasil CA 12-5nya normal, Bu, di angka 10. Kok bisa ya, Bu? Soalnya saya juga ada masalah dengan rahim saya. Kalau boleh saya mau tahu pakai obat apa?”
Mungkin bila saat itu di depan saya ada cermin, saya bakal melihat wajah saya melongo semelongomelongonya. Dengan terbata saya jawab, bahwa saya mengikuti Bimbingan Hidup Sehat, dan saya berjanji akan memberi info bila diadakan kembali. Sorenya hasil tes suami pun sudah keluar, dan betapa girangnya hati ini saat membaca isi amplop, semuanya bagus dan normal!
Sejak saat itulah, kami berdua taat dan percaya dalam menjalani Bimbingan Hidup Sehat hingga detik ini.
01/11
Tak disadari seiring berjalannya waktu, satu per satu penyakit yang kami rasakan, bahkan “penyakit ringan” yang saya sebutkan di awal cerita tadi, menghilang dengan sendirinya! Tanpa obat, tanpa suplemen dan vitamin jutaan rupiah.
Dulu, sebelum mengikuti BHS, saya pernah terkena demam berdarah. Barang tentu harus masuk rumah sakit, kan? Saya ingat betul, saat itu biaya perawatannya sejuta sehari. Saya dirawat 5 hari ya 5 juta melayang. Setelah BHS pun saya pernah terjangkit penyakit itu lagi. Saya tanyakan Opa Anton, obatnya saya Cuma disuruh minum air yang banyak, juga buavita jambu sebanyak-banyaknya. Percaya tidak percaya, saya sembuh juga.
Dalam pelayanan BHS selanjutnya, kami pun kembali hadir. Di situ gantian saya yang mentertawakan suami, gara-gara terus mengolok saya, racunnya ditambah! Hahaha… Yang tadinya telur puyuh sekarang jadi semua telur, yang tadinya kacang tanah jadi kacang-kacangan, juga kentangnya berubah jadi alpukat. Makanya, jangan rakus!
Setiap ada pelayanan BHS, di kota-kota lain pun, kami sebisa mungkin datang. Sebagai wujud rasa syukur kami, juga karena mengikuti BHS itu sama dengan terapi. Kami berdoa, kami tertawa, kami dikuatkan tubuh, mental, dan juga spiritualnya. Hitung-hitung, gantinya biaya berobat ke dokter tadi, dipakai untuk jalan-jalan saja mengikuti Opa kemana-mana.
Dalam pelayanan-pelayanan yang kami ikuti pulalah, kami berkenalan dengan banyak sosok baru yang menginspirasi. Kami saling membantu dan berbagi kasih. Dalam salah satu pelayanan, satu hal masih tersimpan dalam hati saya, saat Opa bilang, “Jangan lihat saya. Saya bukan siapa-siapa. Bila kamu datang dan taat, lalu kamu sembuh, yang menyembuhkanmu adalah Tuhanmu! Imanmulah yang menyembuhkanmu.”
Bukan berarti 8 tahun perjalanan kami mengikuti pola hidup BHS ini mulus tanpa halangan. Sesekali pernah racun tubuh kami terlanggar. Tak pernah disengaja, namun beberapa kali saat pergi makan di luar, makanannya ternyata tercemar. Langsung alarm tubuh kami bekerja. Yang batuk, yang diare, yang sakit sendi, yang pusing, pokoknya kalau kena racun, otomatis tubuh terasa tidak enak. Lama-lama sakitnya pun semakin spesifik. Bila terlanggar racun udang, saya akan sakit perut. Bila terlanggar racun telur, biasanya tenggorokan kami terasa tak enak berujung batuk.
Pernah di tahun 2013, dua tahun perjalanan kami dalam BHS, penyakit saya kembali. Saya paling suka rujak. Kebetulan di depan toko, ada tukang rujak ulek. Memang setiap beli saya tak pernah lupa ingatkan, “Jangan pakai terasi!” karena racun tubuh saya adalah udang, termasuk terasi. Tapi sekarang setelah saya pikir lagi, ulekan (cobek) yang digunakan belum tentu dicuci bersih sebelum menggerus porsi selanjutnya. Apalagi itu kan terbuat dari batu yang permukaannya kasar. Bisa saja serpihan terasinya tersisa di sana, sehingga mencemari rujak yang saya pesan.
Saat itu saya yang sudah menopause, tiba-tiba seperti haid lagi. Segera saya cek lab lagi, benar saja, hasil CA 12-5 tinggi lagi, bahkan lebih tinggi dari yang lalu: mencapai angka 87! Saya bawa kegundahan hati itu bertemu dengan dr. Maxi, karena beliau kan dokter kandungan, terlebih lagi beliau kan sesama pengikut Opa juga. Menurut beliau, secara medis harus diambil tindakan (kuretase). Tetapi lalu beliau bertanya, mengapa tidak tanyakan saja pada Opa? Dalam hati saya jawab, takut, soalnya Opa kan galak kalau ditelepon. Hehehe. Sebenarnya sih bukan galak, hanya nada dan gaya bicara orang Timur kan berbeda, jadi terdengar seolah galak.
Akhirnya saya beranikan bertanya pada Opa. Saat itu Opa menjawab, terserah saja. Bila mau ikut, tak apa, asal taat, jangan melanggar lagi. Saat itu saya kembali teringat kata-kata Opa. Imanmulah yang menyembuhkanmu. Saya bulatkan lagi tekad, harus lebih tertib dan taat lagi, lebih bersih dari racun lagi. Saya lebih bawel lagi bila memesan makanan di luar. Bila ragu, lebih baik saya tidak makan. Ditertawakan teman? Tak masalah. Memangnya kalau saya sakit, mereka mau rawat saya? Puji Tuhan, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Penyakit itu terusir dari tubuh saya lagi.
Awalnya, saya memaksakan anak-anak saya untuk ikut BHS juga. Jika kita merasakan yang baik, pasti ingin orang lain merasakannya juga kan, terlebih anak sendiri! Anak saya yang sulung, Ray, beserta istrinya, Felice (waktu itu masih pacaran, belum menikah) langsung mengikuti pola hidup sehat dan menghindari racun tubuhnya. Sehingga buah hati mereka, Rafeline, adalah anak bebas racun, 0 km. Kedua anak bungsu yang kembar, Stephanie dan Tiffani, pun mau mengikuti. Walau awal-awal saya tahu mereka masih suka curi-curi melanggar, akhirnya mereka merasakan sendiri manfaatnya dan mengikuti dengan taat. Namun penolakan keras datang dari anak tengah saya, Karina. Memang sedari kecil dialah yang paling keras kepala. Berulang kali usaha saya “menyadarkan” dia agar mau ikut BHS berujung dengan pertengkaran. Ya, sebenarnya bila saya mau jujur, dia yang paling mirip saya. Pikirannya logis dan rasional. Saya sendiri juga bila bukan karena “terpaksa”, mungkin tidak mau mengikuti BHS ini.
Teman-teman yang saya ajak mengikuti BHS pun, satu per satu berguguran. Sulit makan lah, tidak bisa masak lah, ada saja alasannya.
Lama-lama jadi sering uring-uringan. Mungkin ini yang namanya Racun Jiwa. Akhirnya saya berusaha merelakan, tidak memaksa lagi, melainkan membawanya dalam doa. Saya imani, segala sesuatu akan indah pada waktu-Nya. Sejak dua tahun lalu, Karina sekeluarga memutuskan untuk ikut BHS juga. Kini, seluruh keluarga besar kami, dimulai dari hanya kami berdua, hingga sekarang semua anak kami, mantu, cucu, hingga besan kami pun ikut mau dibimbing menjalani hidup yang sehat. Biarlah Tuhan pakai kami sebagai lentera-Nya menyinarkan kesembuhan. Biar orang lain dapat melihat kami sehat, dan biar mereka sendiri yang benar-benar terpanggil dan membutuhkanlah yang ikut dan datang ke BHS. Satu orang saja dapat terbantu, kami bahagia.
Hak Cipta © 2025 Porat Antonius - Semua Hak Dilindungi Undang-undang.
Situs web ini menggunakan cookie. Dengan terus menggunakan situs ini, berarti Anda menerima penggunaan cookie kami.